29 Jul 2016

Ketika Gepeng Bermigrasi ke Kuta Raja

Oleh: Muhammad Syarif, S.HI.M.H*

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Demikianlah bunyi konstitusi negara Indonesia yang termaktub dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks ini Negara diberimandat untuk menuntaskan problem kemiskinan. Oleh karena itu dalam menuntaskan problem kemiskinan negara membentuk organ yang secara teknis menangani problem kemiskinan.
Dalam perspektif mikro dilevel daerah, sejatinya persoalan fakir miskin, gelandangan, pengemis, funk serta komunitas luntang- lantung yang mencari sesuap nasi dan rezeki harus benar-benar diatasi oleh kepala daerah (Gubernur, Walikota, Bupati) beserta pembantunya (Dinas/Badan/Kantor) serta Baitulmal, sehingga ada tanggungjawab kepala Daerah disetiap levelnya.
Dalam konsideran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis menyebutkan:” bahwa gelandangan dan pengemis (gepeng) tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan. Usaha penanggulangan tersebut bertujuan memberikan rehabilitasi kepada gepeng agar mampu mencapai taraf hidup, kehidupan dan penghidupan yang layak sebagai warga negara.
Terminologi gelandangan mengandung makna selalu berkeliaran atau tidak mendapat tempat tinggal yang tetap. Pada umumnya gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa, guna mengadu nasib di kota, namun tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak mempunya modal uang. Sehingga menyebabkan mereka melakukan pekerjaan serabutan, bahkan tidak jarang yang berprofesi sebagai pengemis. Akar munculnya fenomena gelandangan menurut al-qur`an adalah kemiskinan.
Sementera pengemis mengandung makna orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk belas kasihan orang lain. Weinberrg menjelaskan Gepeng yang masuk dalam katagori miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi, mereka terkadang diperalat oleh pihak-pihak tertentu demi memperolah keuntungan finansial. Untuk itulah perlu keberpihakan negara melakukan pendataan dan melakukan rehabilitasi mental, sehingga Gepeng tidak lagi menjadi profesi yang tetap.
Ada trend saat ini gepeng melakukan “migrasi politik ekonomi” pada kota-kota yang dianggap berpotensi meraup keuntungan. Prilaku gepeng yang cendrung meningkat di Banda Aceh, patut dikaji secara dalam serta dicari solusi alternatif. Bukan hanya itu, akhir-akhir para gepeng selalu mangkal di jalan raya, masjid-masjid serta tempat-tempat publik lainnya. Warna ini sangat mengganggu keindahan Kota Banda Aceh, bahkan saat Banda Aceh kebanjiran tamu dari Malaysia, para gepeng tidak segang membidik setiap tamu guna meminta belas kasihan, Toh peng seuribe (minta uang seribu), minta uang makan dan ongkos pulang kampung. Beberapa Gepeng di Banda Aceh telah mengoleksi ringgit yang diperoleh dari Tamu Malaysia, dan ini sungguh memalukan. Ada kesan Pemerintah Kota Banda Aceh tidak konsern terhadap penuntasan kemiskinan, padahal gepeng yang ada adalah produk migrasi dari luar Kota Banda Aceh.
Berdasarkan data yang direalis oleh Farid Nyak Umar (Angota DPRK Banda Aceh), pada saat melakukan penertiban Gepeng tercatat 145 orang gepeng di Kota Banda Aceh di Tahun 2015 dan dipastikan terus bertambah. Dominasinya menyebar pada 15 Kabupaten/Kota. Kebanyakan dari Pidie, Bireun, Aceh Timur dan Aceh Besar. Sejatinya Pemerintah Daerah setempat harus bertanggungjawab terhadap warganya, jangan dibiarkan seolah-olah itu menjadi tugas Pemerintah Kota Banda Aceh. Harus ada kerjasama yang baik dalam mengatasi masalah ini, jika perlu dibuat kebijakan bersama. Misalnya ada sharing dana pembinaan antar kepala daerah terhadap rehabilitasi dan pembinaan ketrampilan bagi gepeng.


Disamping itu perlu juga dipikirkan tanggungjawab moril dan materil anggota DPRA/DPRK dapil masing-masing. Misalnya ada pos anggaran pembinaan gepeng baik dalam bentuk bansos maupun hibah bersyarat. Mekanisme teknis perlu diatur dalam Qanun Aceh tentang penanganan Gepeng. Saya kira ikhtiar Kota Banda Aceh telah maksimal terhadap upaya mengatasi problem kemiskinan, bahkan saya menilai upaya Baitalmal Kota Banda Aceh serta Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sudah cukup baik dalam mengatasi problem ini. Akan tetapi karena Banda Aceh dianggap sebagai Kota yang sudah maju, nyaman dan mudah melakoni tabiat gepeng, maka kabilah gepeng bermigrasi ke Kuta Raja. Wallahu`alam binshawab.

*Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute

Tidak ada komentar: